Laman

Selamat Datang

"Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga Bermanfaat"

Rabu, 30 Maret 2011

Pentingnya Dunia Bermain bagi Anak Usia Dini


Tulisan ini saya dedikasikan kepada orang tua & semua pihak yang peduli terhadap pendidikan anak khususnya anak usia dini.
Dunia anak adalah dunia bermain. Oleh karena itulah mengapa saat ini banyak sekali mall, komplek perumahan, hotel, rumah makan, fasilitas umum, dsb…yang dilengkapi dengan play ground atau arena bermain bagi anak-anak. Ada yang gratis…ada yang musti bayar sebagai konsekuensi dari adanya fasilitas tersebut.
Toko mainan anak, dari yang produk lokal, produk china maupun produk negara-negara maju lainnya, selalu ramai. Demikian pula dengan game center di pusat2 perbelanjaan di kota2 besar.
Bagaimana dengan di pedesaan? Mainan tradisional? gobak sodor, petak umpet, gangsingan, gundu/kelereng dsb…, sepertinya sudah hilang dari peredaran, bahkan di pelosok desa sekalipun. Apalagi bila aliran listrik sudah masuk, saya yakin permainan tradisional anak2 tidak akan pernah di mainkan lagi. Mereka akan lebih suka memelototi siaran televisi dikala luangnya, menyaksikan tayangan-tayangan yang belum tentu pas untuk kelompok usianya.
Kebutuhan anak akan bermain pada dasarnya sama, baik di kota maupun di desa. Yang berbeda adalah bentuk & jenis permainan, frekuensi serta area bermainnya. Di kalangan pendidikan, kebutuhan bermain bagi anak2 usia dini tersebut direspon dengan banyaknya Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang bermunculan. Lembaga2 tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan ruang dan waktu kepada anak usia dini utk tumbuh dan berkembang melalui BERMAIN dalam berbagai bentuk dan tema.
Berikut adalah pengertian dan arti pentingnya bermain menurut tinjauan akademis, yang saya sarikan dari Mading PAUD Pelangi Nusantara, Jl Dewi Sartika Raya - Sampangan - Semarang.

BERMAIN (play) merupakan setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada tekanan atau paksaan.

Pengaruh Bermain Bagi Perkembangan Anak
A.      Perkembangan Fisik
Bermain aktif penting bagi anak untuk mengembangkan otot dan melatih seluruh bagian tubuhnya. Bermaian juga berfungsi sebagai penyaluran tenaga yang berlebihan yang bila terpendam terus akan membuat anak tegang, gelisah dan mudah tersinggung.
B.       Dorongan Berkomunikasi
Agar dapat bermain dengan baik bersama yang lain, anak harus belajar berkomunikasi dalam arti mereka dapat mengerti dan sebaliknya mereka harus belajar mengerti apa yang dikomunikasikan anak lain.
C.      Penyaluran Bagi energi Emosional yang Terpendam
Bermain merupakan sarana bagi anak untuk menyalurkan ketegangan yang disebabkan oleh pembatasan lingkungan terhadap perilaku mereka
D.      Penyaluran bagi Kebutuhan dan Keinginan
Kebutuhan dan keinginan yang tidak dapat dipenuhi dengan cara lain seringkali dapat dipenuhi dengan bermain.anak yang tidak mampu mencapai peran pemimpin dalam kehidupan nyata mungkin akan memperoleh pemenuhan keinginan itu dengan menjadi pemimpin tentara mainan.
E.       Sumber Belajar
Bermain memberi kesempatan untuk mempelajari berbagai hal melalui buku, televisi, atau menjelajah lingkungan yang tidak diperoleh anak dari belajar di rumah atau sekolah.
F.       Rangsangan Bagi Kreativitas
Melalui eksperimentasi dalam bermain, anak-anak menemukan bahwa merancang sesuatu yang baru dan berbeda dapat menimbulkan kepuasan. Selanjutnya mereka dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar dunia bermain.
G.      Perkembangan Wawasan Diri
Dengan bermain, anak mengetahui tingkat kemampuannya dibanding dengan temannya bermain. Ini memungkinkan mereka untuk mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata.
H.      Belajar Bermasyarakat
Dengan bermain bersama anak lain, mereka belajar bagaimana membentuk hubungan sosial dan bagaimana menghadapi dan memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan tersebut.
I.         Standard Moral
Walaupun anak belajar di rumah dan di sekolah tentang apa saja yang dianggap baik dan buruk oleh kelompok , tidak ada pemaksaan standard moral paling teguh selain dalam kelompok bermain.
J.        Belajar Bermain sesuai dengan Peran Jenis Kelamin
Anak belajar di rumah dan di sekolah mengenai apa saja peran jenis kelamin yang disetujui. Akan tetapi, mereka segera menyadari bahwa mereka juga harus menerimanya bila ingin menjadi anggota kelompok bermain.
K.      Perkembangan Ciri Kepribadian yang Diinginkan
Dari hubungan dengan anggota kelompok teman sebaya dalam bermain, anak belajar bekerja sama, murah hati, jujur, sportif dan disukai orang.

Guru Profesional dan Ideal


Oleh : Syafii Lubis


Sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2005 bahwa guru dituntut untuk memiliki Kompetensi, maksudnya adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dalam kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial yaitu kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi tersebut memegang peranan penting dalam pembentukan seorang guru professional dan ideal yang menjadi tuntutan pada saat ini untuk mengimbangi perubahan jaman yang semakin modern.
Guru Profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu bahwa dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. guru dituntut untuk mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebab kegagalan dan mencari jalan keluar bersama dengan peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya (Baskoro Poedjinoegroho E, Kompas Kamis, 05 Januari 2006)
Guru memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa dan mengembangkan potensi siswa dalam kerangka pembangunan pendidikan di Indonesia. Tampaknya kehadiran guru hingga saat ini bahkan sampai akhir hayat nanti tidak akan pernah dapat digantikan oleh yang lain, terlebih pada masyarakat Indonesia yang multikultural dan multibudaya, kehadiran teknologi tidak dapat menggantikan tugas-tugas guru yang cukup kompleks dan unik.
Oleh sebab itu, diperlukan guru yang memiliki kemampuan yang potensial untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun professional.
Guru Ideal menurut Prof Herawati Susilo MSc PhD, pakar pendidikan Universitas Negeri Malang, ada enam kriteria guru ideal yaitu: Belajar sepanjang hayat, literat sains dan teknologi, menguasai bahasa inggris dengan baik, terampil melaksanakan penelitian tindakan kelas, rajin menghasilkan karya tulis ilmiah, dan mampu membelajarkan peserta didik berdasarkan filosofi konstruktivisme dengan pendekatan kontekstual.
Berdasarkan penjelasan di atas, kriteria guru ideal yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia era global yaitu:
Pertama, guru ideal adalah guru yang dapat membagi waktu dengan baik. Dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru dan tugas dalam keluarga, serta dalam masyarakat dengan salah satu cara yaitu mengurangi waktu untuk istirahatnya.
Kedua, guru ideal adalah guru yang rajin membaca. Membaca tidak terikat waktu, ruang dan tempat. Tidak terikat waktu karena membaca dapat dilakukan kapan saja, bergantung keinginan dan waktu luang. Tidak terikat ruang karena membaca dapat dilakukan di ruang apapun, tidak perlu ruang khusus sepanjang tidak terganggu atau mengganggu pihak lain. Tidak terikat tempat karena membaca dapat dilakukan di tempat umum. Apakah guru memiliki budaya membaca? Berapa persen guru yang membaca kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam undang-undang maupun peraturan menteri yang terkait dengan profesi guru dalam dunia pendidikan? Apabila guru membaca hal tersebut di atas, maka mungkin tidak akan pernah dijumpai guru yang tidak lulus dalam mengikuti sertifikasi guru.
Guru selalu menuding bahwa minat peserta didik untuk belajar (membaca) sangat rendah. Bagaimana dengan minat membaca guru? Mungkin kita perlu memanfaatkan waktu untuk membaca saat antri pengambilan gaji di bank, di loket pembayaran listrik, rekening telepon, atau loket pembayaran rekening air. Bahkan memanfaatkan waktu untuk membaca saat di perjalanan dengan kendaraan umum.
Ketiga, Guru ideal adalah guru yang banyak menulis. Menulis juga tidak terikat ruang, waktu dan tempat. Pernahkah guru memanfaatkan waktu untuk menulis dalam jurnal mengajarnya di sela-sela kegiatan mengajar, sehingga yang dihadapi pada hari itu dapat menjadi sebuah rancangan penelitian atau bahkan sebuah artikel? Karena dengan menulis kita akan berada di mana-mana, karya tulis kita akan di baca oleh banyak orang dan dapat juga dimanfaatkan oleh orang lain sebagai sumber bacaan.
Keempat, Guru ideal adalah guru yang gemar melakukan penelitian. Cikal penelitian adalah adanya masalah. Seorang peneliti tidak akan percaya masalah dapat diselesaikan tanpa penelitian. Seorang guru akan selalu gelisah dengan prestasi dan proses belajar peserta didiknya sehingga guru akan terus memiliki budaya meneliti. Keempat kriteria sebagai tertulis di atas merupakan hal yang diperlukan bila seorang guru dapat dikategorikan sebagai guru ideal.

Optimalisasi Pendidikan Agama Islam


Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami (knowing), terampil melaksanakan (doing), dan mengamalkan (being) agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan Agama Islam di sekolah (bukan di madrasah) ialah murid memahami, terampil melaksanakan, dan melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT berakhalak mulia dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Optimalisasi Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak berarti penambahan jumlah jam pelajaran di sekolah, tetapi melalui optimalisasi upaya pendidikan agama Islam. Itu berupa optimalisasi mutu guru agama Islam dan optimalisasi sarana. Karakteristik utama PAI adalah banyaknya muatan komponen being, di samping sedikit komponen knowing dan doing. Hal ini menuntut perlakuan pendidikan yang banyak berbeda dari pendidikan bidang studi umum. Pembelajaran untuk mencapai being yang tinggi lebih mengarahkan pada usaha pendidikan agar murid melaksanakan apa yang diketahuinya itu dalam kehidupan sehari-hari. Bagian paling penting dalam PAI ialah mendidik murid agar beragama; memahami agama (knowing) dan terampil melaksanakan ajaran agama (doing) hanya mengambil porsi sedikit saja. Dua yang terakhir ini memang mudah. Berdasarkan pengertian itulah pendidikan agama Islam memerlukan pendekatan pendekatan naql, akal dan qalbu. Selain itu juga diperlukan sarana yang memadai sehingga mendukung terwujudnya situasi pembelajaran yang sesuai dengan karakter pendidikan agama Islam. Sarana ibadah, seperti masjid/mushallah, mushaf al-Quran, tempat bersuci/tempat wudlu merupakan salah satu contoh sarana pendidikan agama Islam yang dapat dipergunakan secara langsung oleh siswa untuk belajar agama Islam. Peningkatan mutu guru agama Islam diarahkan agar ia mampu mendidik muridnya untuk menguasai tiga tujuan tadi. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuannya dalam penguasaan materi pelajaran agama, penguasaan metodologi pengajaran, dan peningkatan keberagamaannya sehingga ia pantas menjadi teladan muridnya.
Banyak orang memberikan penilaian terhadap keberhasilan guru agama Islam (GAI). Pada umumnya, mereka menyatakan bahwa GAI banyak gagal dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam. Penelitian menunjukkan bahwa pada aspek knowing dan doing guru agama tidak gagal; mereka banyak gagal pada pembinaan aspek keberagamaan (being). Murid-muridnya memahami ajaran agama Islam, terampil melaksanakan ajaran itu, tetapi mereka sebagiannya tidak melaksanakan ajaran Islam tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka memahami hukum dan cara shalat lima, terampil melaksanakan shalat lima, tetapi sebagian dari murid itu tidak melaksanakan shalat lima. Mereka tahu konsepjujur, mereka tahu cara melaksanakan jujur, tetapi sebagian dari mereka tetap sering tidak jujur dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi, aspek keberagamaan itulah yang sangat penting untuk ditingkatkan.
Berikut ini adalah uraian singkat tentang metode internalisasi yang bertujuan untuk meningkatkan keberagamaan siswa sekolah.

Metode Internalisasi
Sesuatu yang telah diketahui dapat saja sekedar diketahui, tempatnya di otak. Untuk mengetahui apakah murid sudah tahu, guru dapat memberikan soal ujian atau ulangan. Jika jawabannya benar, berarti murid sudah tahu. Murid mampu bahkan terampil melaksanakan yang ia ketahui itu. Tempatnya di anggota badan. Nah, yang di otak dan yang di badan itu boleh jadi menetap saja di situ; dua-duanya itu masih berada di luar kepribadian, masih berada di daerah ekstern, belum berada di daerah dalam kepribadian (intern). Karena itu pengetahuan dan keterampilan harus dimasukkan ke daerah intern. Proses memasukkan inilah yang disebut internalisasi. Untuk memahami konsep ini lebih dalam cobalah perhatikan uraian berikut ini.

Tiga Tujuan Pembelajaran
Ada tiga tujuan pembelajaran. Ini berlaku untuk pembelajaran apa saja.
1.         Tahu, mengetahui (knowing). Di sini tugas guru ialah mengupayakan agar murid mengetahui sesuatu konsep. Murid diajar agar mengetahui menghitung luas bidang. Guru mengajarkan bahwa cara yang paling mudah untuk mengetahui luas bidang segi empat ialah dengan mengalikan panjang (p) dengan lebar (l). Guru menuliskan rumus: Luas = panjang x lebar (L=pxl). Guru mengajarkan ini dengan cara memperlihatkan beberapa contoh bidang. Untuk mengetahui apakah murid telah memahami, guru sebaiknya memberikan soal-soal latihan, baik dikerjakan di sekolah maupun di rumah. Akhirnya guru yakin bahwa muridnya telah mengetahui cara menentukan luas bidang segi empat. Selesai aspek knowing.
2.         Terampil melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui itu (doing). Dalam hal luas bidang seharusnya murid dibawa ke alam nyata yaitu menyaksikan bidang (bidang-bidang) tertentu, lantas satu persatu murid (dapat juga dibagi menjadi kelompok-kelompok) mengukur secara nyata dan menentukan luas bidang itu. Bila semua murid telah menghitung dengan cara yang benar dan hasil yang benar maka yakinlah guru bahwa murid telah mampu melaksanakan yang ia ketahui itu (dalam hal ini konsep dalam rumus itu tadi). Sampai di sini tercapailah tujuan pembelajaran aspek doing.
3.         Melaksanakan yang ia ketahui itu. Konsep itu seharusnya tidak sekedar menjadi miliknya tetapi menjadi satu dengan kepribadiannya. Dalam hal contoh tadi setiap ia hendak mengetahui luas, ia selalu menggunakan rumus yang telah diketahuinya itu. Inilah tujuan pengajaran aspek being. Dalam pengajaran yang tidak mengandung nilai buruk-baik (seperti pengajaran Matematika itu) proses dari knowing ke doing, dari doing ke being itu akan berjalan secara otomatis. Artinya, bila murid telah mengetahui konsepnya, telah terampil melaksanakannya, secara otomatis ia akan melaksanakan konsep itu dalam kehidupannya. Nanti dalam kehidupannya, ia akan selalu mengalikan panjang dengan lebar bila mencari luas. Jika ia kurang baik akhlaknya, paling jauh ia menipu angka, mungkin dia menipu dalam mengukur panjang atau lebar, tetapi rumus itu tidak mungkin diselewengkannya. Karena itu dalam pengajaran yang tidak mengandung nilai (maksudnya: konsepnya bebas nilai) proses pembelajaran untuk mencapai aspek being tidaklah sulit. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan konsep yang mengandung nilai.

Sabtu, 26 Maret 2011

Kedatangan Islam Di Indonesia


Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?

Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada beberapa teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara.
Teori Pertama, diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.
Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya. Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.
A. Kondisi Dan Situasi Politik Kerajaan-Kerajaan di Indonesia
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus.
Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M.
Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa.
Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda.
Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

B. Munculnya Pemukiman-Pemukiman di Kota Pesisir
Sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Seperti pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara. Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai-Aceh menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah.